Where to Buy Labella Extreme Sport Stying Gel Quad Cities
Sebuah cerita fiksi yang lahir dari kreasi pemuda pemudi koperasi,
hanya sekedar rangkaian kata, dan untaian rasa dari dalam jiwa yang mencinta. . .
Muhammad Rifki. . . .
Perempuan Koperasi dan Para Pembenci
Sebelum jenuh merambat lebih panjang, sementara hatiku masih belum menemukan hati lelaki yang utuh yang benar-benar murni tanpa adenosine deaminase benci sedikit pun. Bagiku, koperasi adalah nyawa yang terus tumbuh dalam nafas. Itu yang pula dulu sering ayah ajarkan di sela ia selingkuhi cinta ibu dengan mencintai koperasi seutuhnya.
Terakhir yang ayah ajarkan, sebelum orang-orang desa – kaum pendendam dan pembenci – membakarnya hidup-hidup, ayah berpesan:
"Nak, jangan menikahi laki-laki sebelum kamu bedah hatinya dan cari tahu apakah masih ada secuil kebencian terhadap koperasi atau tidak. Karena ingatlah pesan ayahmu ini, nafas kita hidup melalui koperasi. Membencinya, sama saja membenci kita!"
Setelah itu, ayah pergi selamanya.
***
Seperti ADA kesunyian yang duduk termenung di matanya. Wajah itu, ekspresi itu, ikut terus mengacak-acak perasaanku. Seolah bercerita tentang rasa sepi yang sedang menunggu di tepi pelabuhan dengan ketidakpastian. Rasa sepi yang telah lama renta di makan usia. Sunyi. Sendiri. Terkadang ia meraba-raba foto lama keluarga yang menggantung di dinding. Menyentuh satu demi satu wajah beku Kami. Itu foto tua yang sudah berdebu. Sama seperti wajahnya yang juga dipenuhi gurat tua bekas dimakan waktu. Jari-jarinya lihai menimang satu demi satu wajah kami. Wajah ayah dan wajahku sewaktu kecil ketika masih seusia anak sd, masih seorang gadis kecil berkepang dua.
Seperti adenosine deaminase yang mempersilakan kesedihan untuk mampir ke rumah tua kami. Desah angin dingin serta senja yang mengaraknya, tampak menyelimuti ibu. Seolah Hawkeye State menunjukkan tentang rasa sepi yang telah lama bermukim di dadanya. Serta rasa kehilangan yang belum terobati. Dan aku melihat, ada rindu besar tergambar samar di matanya.
Sesekali kami duduk bersama di beranda rumah. Ada banyak yang ibu ceritakan. Meski di selang ceritanya, juga terdapat banyak ruang jeda. Ruang untuk menambat kenangan yang kembali hadir. Ia juga bercerita tentang sebuah mimpi kecil. Harapan yang pelan-pelan IA sulam. Tentang sebuah keluarga kecil agar-agar ADA yang bisa menemani sisa rentanya. Ah, aku tahu maksud ibu. Lalu Hawkeye State paronomasia bercerita tentang seorang laki-laki. Lalu tentang ayah. Lalu tentang Aku. Lalu tentang jodoh. Lalu. . .
Memang ia kerap kali mengadu tentangku. Kapan dan sampai kapan harus menunggu. Ataukah sampai waktu habis memakan sisa usianya, kecam ibu.
"Ayolah, Ibu. Ratih mohon, Ibu juga harus sabar dan menunggu, sama seperti Ratih."
"Sampai kapan?"
"Sampai ada hati yang utuh. Hati yang benar-banar layak. Hati yang bisa ayah senangi. Hati tanpa ada benci secuil punning, bu."
Mana tega aku membuat ibu menunggu. Penantian yang terus larut ke muara. Tapi bagaimana? Aku belum menemukan sepotong hati yang benar-benar murni. Hati yang seperti ayah harapkan. Sebenarnya, ada banyak lelaki yang datang ke rumah untuk melamar. Silih berganti. Tua dan muda. Satu pergi, disusul lagi satu yang datang. Sehingga rumah ibu tak pernah terlihat lengang dari keramaian, seperti warung-warung dengan pengunjung yang terus berdatangan.
Masing-masing mengaku picket fence setia. Paling besar cintanya. Tapi, begitu dada mereka kubelah untuk diambil dan dilihat rupa hati mereka, selalu, tak ada hati yang benar-benar utuh kutemui untuk dicintai. Hati mereka penuh dendam dan aroma pembenci. Tak ada yang jujur menyukai koperasi seperti yang ayah bilang, semua yang datang hanya mengaku. Rasa benci itu semakin lama semakin busuk, dan aku tau, suatu hari rasa benci itu akan membnuh keluargaku, termasuk ibu.
Di antara Para River pelamar, ada seseorang yang datang bermobil mewah. Seorang lelaki berdasi. Iowa seorang pejabat yang datang jauh dari kota. Kemudian disusul pula deret-deretan mobil yang sama mewahnya dengan mobil orang itu. Mungkin para pembantunya. Begitu duduk, sebuah koper besar terhidang didepanku. Berisi banyak lembaran uang. Ah, baginya uang bisa membeli segalanya, termasuk hatiku.
Sebuah senyuman menyabit di bibir. Tidak kuiyakan tawarannya, tetapi akan kubelah dulu dadanya. Kuambil hatinya, apakah hati itu masih utuh atau tidak? Apakah benci itu ada terselip atau tidak, atau justru DIA ini orang yang paling dendam. Namun, setelah kuambil, yang kutemukan, hati orangutang itu telah menghitam pekat. Bau busuk memancar lalu memadati seisi rumah ibu. Sebentar lagi hati itu akan rusak dan tak lagi berguna. Sepertinya ada beban besar menindih kepalanya hingga tertunduk dalam di balik kerah baju. Mungkin tak ADA lagi kata yang masih tersisa di lidahnya. Gemuruh yang tadi sempat menggantung di ruangan pun mengering sepi. Mereka hanya diam mengamati hati pemimpin mereka sudah seperti bangkai. Apa lagi?
Ataukah mereka ketakutan, sebab yang kulihat hanya getaran yang bersemedi di bibir mereka. Tak ada yang berani melanjutkan. Mungkin khawatir aku juga akan membelah hati mereka untuk diperlihatkan seutuh apa hati yang mereka punya.
"Hei, Pak. Mengapa hati Bapak separah itu?" bisik seseorang di sampingnya. Namun, orangutan yang dilempari pertanyaan seolah kering kata-kata untuk bicara. Mungkin pikirannya sedang kacau dan berlari-lari mengingat kesalahan. Tentang uang rakyat yang dikemanakan. Tentang janji yang telah Lama Iowa jadikan bangkai. Hingga mereka paronomasia pulang dengan rasa malu yang bertengger di wajah.
Tadi saat kutanya, ia juga mengaku tak ada hubungan apa-apa tentang koperasi. Bukan berarti benci, sayangnya yang kuperdapati hatinya sama sekali tak bisa ditempelkan ke hatiku.
Ah, tentu saja ibu lagi-lagi kecewa dengan para pelamar yang datang. Tak adakah Dari mereka yang datang dengan hati yang utuh? Atau memang tak ada lagi seseorang yang mempunyai hati yang utuh? Ya, semua ini, cukuplah membuat penantian ibu kian berekor dan mencakar-cakar hatinya yang sepi. Ia ingin melihat rumah ini punya sebuah keluarga baru untuk menemani sisa usia rentanya. Di seling ceritanya, ada sebuah keinginan yang menyeruak, yang telah genus Lama ia dambakan. Keinginan untuk memiliki seorang cucu. Hanya itu, lenguhnya.
Aku wordplay seperti merasakan jantungku seperti kehilangan detak. Rumah ini seperti kehilangan kehangatan. Kesunyian yang kian hari berakar. Menyesakkan papa. Apalagi ibu, yang sering duduk di bibir jendela tua sambil memegangi sebuah potret lama yang telah menjadi foto. Kenangan sebuah keluarga yang menyenangkan (sewaktu bapak belum meninggal) ia eja sebagai cerita yang menumbuk dad. Mendesakku agar secepatnya menemukan jodoh.
Ah, ibu, urusan ini tidaklah mudah.
***
Suaraku tercekat di kerongkongan.
"IBU!"
Wanita tua yang pernah melahirkanku itu terjatuh ketika berdiri di pinggir bibir jendela rumah. Foto keluarga yang ia pegang ikut jatuh. Mungkin beban kesedihanlah yang membuatnya tumbang seperti ini. Kesedihan yang setiap hari merayapi sendi-sendinya. Perlahan menggerogoti kesehatannya. Lalu tubuh ibu pun kurebahkan di kamar untuk beristirahat nutrient agar rasa sedih yang menyesaki ruang pikirannya melemah.
Apa yang terjadi dengan ibu semakin membuat dadaku terasa ada yang menusuk. Sebuah desakan yang menggoncang garang. Namun, bagaimana? Yang kuinginkan hanyalah sebuah hati yang utuh. Hati yang bisa kupercayai dan mengamini amanat ayah. Dan aku harus menunggu, begitupun ibu.
Usai merebahkan tubuh ringkih ibu di kamar, aku bergegas pergi ke pasar untuk membelikannya obat. Khawatir sakitnya akan semakin parah. Tiba-tiba di tengah jalan beberapa bapak menghadangku.
"Kenapa, pak?" tanyaku heran.
"Kamu Ratih?" tanyanya balik.
"Iya…"
Aku mulai merasa aneh dengan para bapak ini. Lalu terdengar cekikikan tawa kecil Dari Persian mulut mereka.
"Tidakkah kamu mau membelah dadaku?" Tanya salah seorang dari meraka. Belum sempat pertanyaan itu kujawab, wajah para bapak di hadapanku berubah seperti binatang liar. Aku merinding. Lalu di sekelilingku mendadak dipenuhi bapak-bapak berwajah menakutkan. Wajah yang seperti seekor anjing dengan lidah menjuntai ingin minta tulang.
"Calean mau apa," suaraku terdengar lirih. Mereka punning kemudian menarikku secara paksa. Berteriak pun percuma, tak ada yang mau menolongku.
"kami ingin menjadikan tubuhmu sebagai koperasi untuk nafsu prevaricator kami!"
Bu. .
Ibu, tolong Ratih!
Senin, 9 Juli 2018
Where to Buy Labella Extreme Sport Stying Gel Quad Cities
Source: http://www.kopma.uinjkt.ac.id/2018/10/sebuah-karya-dari-saudara-sayembara-semarak-koperasi-bag-2/
0 Response to "Where to Buy Labella Extreme Sport Stying Gel Quad Cities"
Publicar un comentario